Aku tidak tahu kenapa orang tuaku setuju saja ketika aku dijodohkan dengan Firman, siapa yang tidak tahu dia? Berandalan yang sering mabuk-mabukan dan bermain wanita. Tapi kenapa kedua orang tuaku seakan sama sekali tidak tahu menahu dengan latar belakang seorang yang sangat aku benci yang kini menjadi tunanganku itu? Aku tidak bisa berbuat apa-apa, adat Jawa yang tidak memperbolehkan perawan untuk menolak lamaran yang pertama dan kehendak orang tua yang tidak bisa ditolerir lagi, membuat aku tidak bisa menolak lamaran orang yang sama sekali tidak aku senangi. Bahkan, aku sangat muak padanya.
“Ya Allah! mampukah aku berjalan dengan orang yang telah meminangku dan mengajakku beribadah kepadaMu dengan tanpa cinta?”
Tiap malam aku hanya bisa merintih perih atas semua yang terjadi padaku. Biar bagaimanapun rapuh dan buntunya pikiranku saat itu, tidak lantas membuatku putus asa dengan rahmatNya. Hanya Allah-lah tempat aku mengadu dari segala himpitan masalah yang kini aku hadapi.
“Ya Allah! takdirkanlah pendampingku nanti dari orang-orang yang melakukan semua perintah-perintahMu, dan menjauhi semua laranganMu. Amin…”
Tidak putus-putus aku bermunajat kepadaNya. Tiap malam, hanya Dia tempatku berserah diri, mengaduh, dan mengeluh dengan ketidakmampuanku dalam melangkah.
“Kenapa kamu tidak menolak saja lamaran itu?”
“Aku tidak bisa membantah keputusan keluargaku, Lia.”
“Tapi, sekarang bukan zamannya lagi.”
“Biarlah, doakan saja aku tersenyum melewati semua ini,” aku memotong kata-kata teman kecilku itu. Memang sekarang sudah tidak zamannya lagi pemaksaan dalam perjodohan. Tapi aku hanya orang desa yang tidak bisa berbuat apa-apa. Pada saat itu, berbakti dan patuh pada orang tua adalah hal yang paling utama dalam hidupku.
@@@@@
Kehidupanku sudah tidak bergairah, sepanjang malamku hanya diisi dengan tangisan. Pertunangan ini sangatlah tidak gampang aku jalani. Malah meyesakkanku.
“Ya Allah, akan jadi apa keturunanku kelak, kalau mempunyai ayah berandalan seperti dia? Sesungguhnya hamba hanya ingin membina keluarga yang selalu bertakwa kepadaMu.”
Kalau berusaha mencintainya aku rasa tidak mungkin. Karena sifat dan perilaku aslinya aku mengerti secara detail. Hanya saja orang tuaku tidak percaya dengan ceritaku tentangnya.
“Mana mungkin Firman yang selalu ke masjid dan berpenampilan santri itu berbuat yang tidak baik?” kata dari orang tuaku itulah yang membuatku tidak bisa berkata-kata lagi. Orang tuaku hanya tahu kalau Firman itu anak yang berpenampilan baik. Apakah seseorang itu dinilai dari penampilannya saja? Kenapa tidak ada orang yang mau percaya denganku?
Dari perjuanganku memberi penjelasan pada orang tua, dan usahaku dalam mencari tahu sifat aslinya dari teman-temanku, semuanya seakan tidak ada artinya. Kedua orang tuaku kokoh dengan pendapatnya. Sedangkan saudara-saudaraku seakan tidak peduli dengan apa yang terjadi denganku. Oh… hidup, ke manakah senyummu padaku?
Yang bisa aku lakukan hanya menangis dan menangis. Saking putus asanya, aku sampai bernazar: “Kalau pertunangan ini batal, aku akan baca 41 surat Yasin satu hari satu malam sampai selesai.”
Mukenaku sudah basah dengan air mata. Pelupuk mataku seperti sudah kering menatap goresan hidup yang sedang menatapku. Sekarang aku sekuntum mawar yang layu.
@@@@@
Hatiku terkejut dengan kedatangan seorang perempuan ke rumah. Jantungku seakan jatuh ketika perempuan itu mengaku simpanan Firman, walau tidak ada cinta dalam hatiku, pernyataan cewek itu menghentakkanku. Tapi aku coba kuasai emosi, dengan wajah yang tenang aku menghadapinya. Ternyata perempuan itu mengancamku agar tidak mendekati Firman dan membatalkan pertunanganku. Aku hampir pingsan ketika wanita yang berpakaian serba ketat itu mengaku pernah ditiduri oleh Firman, lelaki brengsek itu tak hanya sekali menidurinya. Tapi berkali-kali. Masya Allah.
Pengancaman dan pengakuan wanita simpanan Firman itu membuatku sesak, tapi aku tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Suasana heboh desaku dengan berita itu tidak memengaruhiku untuk mengambil keputusan dengan kelanjutan tali tunangan ini, karena aku dari pihak perempuan, biarlah dari pihak laki-laki saja yang mengambil keputusannya. Sedang para saudaraku sudah tidak sabar terus berkata padaku untuk membatalkan pertunangan ini, begitupun kedua orang tuaku. Aku hanya tersenyum miris, kenapa dari dulu kalian tidak mendengarkanku? Sekarang kalian tahu kan, siapa dia sebenarnya? Hanya itu yang ada dalam hatiku.
@@@@@
Akhirnya, apa yang jadi harapkanku terkabul juga. Kedua orang tua tunanganku suatu hari ke rumah, dengan perasaan yang berbunga-bunga aku mendengarkan dari balik tirai kamarku perbincangan di antara dua keluarga itu. Aku tenang aja, karena aku sudah tahu apa yang sedang dibicarakan di depan.
Yang jelas, ibu tunanganku itu menangis. Aku hanya diam saja, ketika ibu dari tunanganku itu menghampiriku. Menampakkan wajah sedih, walaupun dalam hati aku sangat bersyukur sekali bisa lepas dari anaknya yang berandal. Aku tak berkata apa-apa ketika beliau memelukku sambil menangis.
“Nak, semoga kamu mendapatkan jodoh yang terbaik nantinya,” kata itulah yang terkenang dalam sanubariku.
Tak terpikir berapa tetes air mata bahagia yang jatuh dari mata ini, pertunangan yang tidak bisa membuatku tidur itu kini pudar bersama berlalunya keluarga yang dulu meminangku. Kini saatnya aku menunaikan nazar yang telah aku ucapkan dulu. Dengan hati yang berbunga, aku baca surat Yasin satu per satu. Ya Allah! Aku bermunajat, bersyukur atas karunia yang telah Engkau goreskan untukku.
Dari kejadian itu aku bertekad untuk menikah dengan orang yang lebih tua dariku, pertunangan dari laki-laki seusiaku dulu membuatku sadar, betapa kedewasaan dalam menuju mahligai rumah tangga itu sangat dibutuhkan. Tanpanya, mahkota cinta yang dibina dalam bingkai pelaminan mana mungkin bertahan lama. Ia akan mudah rapuh oleh arus romantika keluarga. Ya Allah! Hamba memohon petunjukMu.
@@@@@
Semua keluargaku setuju ketika aku meminta untuk mondok, tidak ada pilihan untukku sekarang. Ya, hanya pesantrenlah yang bisa menenangkan pikiranku. Salah satu pondok yang ada di daerah Probolinggo aku pilih, tempat yang agamis dan sejuk membuatku kerasan dan tak mengingat apa-apa lagi. Di suasana yang baru ini aku lebih bisa mengingat dan menyebutNya. Ya Allah! Hamba bahagia di tempat ini, karena hamba lebih leluasa bercinta bersamaMu.
Di pesantren, aku bisa belajar menjadi manusia yang utuh. Yang mampu menghayati kehidupan ini dengan kepasrahan dan tawakal kepada Allah, di penjara suci ini aku merasa menjadi orang yang paling merugi di dunia karena tidak dari dulu aku mengenal tempat yang menjunjung tinggi akhlakul karimah dan kesederhanaan ini. Ya Allah, betapa indah rangkaian kebersamaan yang terkisah di teras pesantren. Aku sangat bahagia berada di sini. Dan tidak akan merasa sepi, karena semuanya bagaikan saudara bagiku. Dan tidak ada orang di dunia ini yang lebih bahagia dariku. La Hawla wala Quwata Illa Billah.
@@@@@
Tidak sedikit pun yang terlintas dalam benakku. Tapi itu sekarang ada di depanku, aku di antara dua pilihan dan aku harus memutuskan untuk berada pada salah satunya. Ya Allah, berikanlah jalan yang terbaik bagi hamba. Siapa yang tak terkejut ketika Bu Nyai memanggilku, dan beliau berkata bahwa saudara beliau, Kiai Kholili, melamarku. Ada kata bahagia dan perasaan yang tak menentu dalam pikiranku saat itu. Tapi, terbesit dalam hatiku ini suatu anugerah. Ya Allah, apakah ini seseorang yang Engkau kirimkan padaku untuk beribadah padaMu?
“Ma, kalau kamu memang tidak mau, udah bilang saja. Mumpung semuanya belum terlanjur,” nasihat dari salah satu sahabatku, membuatku harus segera mengambil keputusan.
Sedang semua keluargaku sangat setuju dengan pinangan itu, apalagi itu dari Bu Nyai.
“Ma, kamu harus bersyukur. Jangan kamu sia-siakan karunia yang sangat besar ini?” Memang aku orang desa, siapa yang tak bangga menjadi orang yang terhormat? Salah satu sisi yang sedang berkecamuk dalam pikirkan. Ya Allah, aku berpasrah padaMu.
“Ma, kamu nurut saja apa kata Bu Nyai, insya Allah akan bahagia dunia akhirat,” saran dari salah satu keluargaku itu aku pertimbangkan dengan sangat matang.
Pada hari Jumat, tanggal 1 Robius Tsani 1415. Akad nikah dilangsungkan. Sejarah lembaran baru akan tertulis dalam hidupku. Tak terasa, aku sekarang sudah sah menjadi istri seorang kiai. Setelah ijab qabul diucapakan, dalam hatiku berkata:
“Siapa pun dia, bagaimanapun dia, aku akan taat dan patuh pada suamiku itu, sampai mati pun.”
Ya Allah! Aku siap beribadah padaMu, dengan laki-laki pilihan-Mu.
Ya Allah! Nantikan aku, dalam sujud cintaku.
*Nyai Siti Rahma Sri Ningsih Mubarok.
*Penulis adalah alumnus Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo
sekarang berdomisili di Kemayoran Bangkalan Madura.
0 komentar:
Posting Komentar